‎Aspirasi Soal Bisnis dan Politik Dominasi Public Hearing Reformasi Polri di Makassar

MAKASSAR, ERAINSPIRASICOM — Kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian menjadi isu utama yang mengemuka dalam public hearing Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (KPRP) di Makassar.

‎Dalam forum serap aspirasi yang digelar di Ruang Rapat Senat Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Selasa (16/12), berbagai elemen masyarakat secara terbuka menyuarakan kegelisahan terkait dugaan keterlibatan Polri dalam urusan bisnis, politik, hingga praktik korupsi.

‎Kegiatan yang difasilitasi Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Sekretariat Negara RI itu menjadi bagian dari rangkaian kunjungan KPRP ke sejumlah daerah untuk menghimpun pandangan publik secara langsung sebelum merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Presiden.

‎Public hearing dipimpin langsung oleh anggota KPRP, Prof Dr Mohammad Mahfud MD dan Jenderal Polisi (Purn.l) Badrodin Haiti, didampingi tim kelompok kerja komisi. Hadir sebagai peserta audiensi antara lain akademisi, pakar hukum, tokoh agama, tokoh perempuan, pengusaha, organisasi profesi, budayawan, hingga perwakilan mahasiswa.

‎Mahfud MD menegaskan, forum tersebut secara khusus difokuskan untuk mendengar keluhan dan usulan masyarakat, bukan untuk mengambil keputusan. Namun, besarnya aspirasi yang muncul dinilai mencerminkan kegelisahan publik yang meluas terhadap kondisi Polri saat ini. “Target kami hanya mendengar keluhan dan usul-usul masyarakat. Dan hari ini keluhan itu keluar sangat banyak. Artinya, target kami tercapai,” ungkapnya.

‎Ia mengungkapkan, aspirasi yang disampaikan di Makassar relatif serupa dengan masukan dari berbagai daerah lain. Menurutnya, pola keluhan yang berulang menunjukkan adanya persoalan struktural yang berdampak pada legitimasi Polri di mata publik. “Hampir sama suaranya dari seluruh Indonesia dan seluruh elemen. Sekarang masyarakat sedang sedih dengan situasi Polri,” katanya.

‎Ia menjelaskan, KPRP telah melibatkan puluhan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di tingkat nasional. Di Jakarta, sebanyak 78 LSM telah menyampaikan pandangan, dan jumlah itu terus bertambah. Selain itu, anggota komisi turun langsung ke daerah untuk menangkap aspirasi masyarakat secara lebih kontekstual.

‎Dalam diskusi tersebut, Ia secara terbuka menyebut sejumlah keluhan yang kerap muncul, mulai dari dugaan keterlibatan aparat dalam urusan politik, praktik pemerasan, penipuan, hingga dugaan pembekingan kejahatan dan bisnis bermasalah. “Keluhan umumnya polisi terlalu masuk ke politik. Ada juga yang mengeluhkan pemerasan, backing kejahatan, dan berbagai praktik pelanggaran hukum,” bebernya.

‎Meski demikian, Ia menekankan bahwa persoalan tersebut tidak bisa digeneralisasi sebagai wajah seluruh institusi Polri. Dari sisi jumlah personel, ia menyebut mayoritas anggota Polri tetap bekerja secara profesional. “Jumlah polisi sekitar 467 ribu orang lebih banyak yang baik tapi persoalannya, oknum yang melanggar ini sering berada di posisi struktural, sehingga berpengaruh besar terhadap postur Polri secara keseluruhan,” jelasnya.

‎Ia juga mencatat adanya aspirasi dari kalangan akademisi dan aktivis agar sejumlah aturan internal Polri yang dinilai membuka ruang penyimpangan dicabut. Namun, Mahfud menegaskan pencabutan aturan tersebut merupakan kewenangan Presiden atau lembaga peradilan.

‎Sementara itu, Jenderal Polisi (Purn.) Badrodin Haiti menyoroti pentingnya perubahan mendasar pada kultur kepolisian. Ia menilai rendahnya kepercayaan publik tidak bisa dilepaskan dari cara aparat berinteraksi dengan masyarakat, termasuk dalam penanganan aksi demonstrasi. “Masih ada keluhan soal pendekatan aparat yang keras polisi kita seharusnya bisa lebih humanis. Paradigma dan kultur ini yang harus diubah,” ucapnya.

‎Menurutnya, legitimasi Polri sepenuhnya bergantung pada kepercayaan dan dukungan masyarakat. Karena itu, aparat kepolisian diminta menjauh dari sikap sewenang-wenang serta praktik penonjolan kewenangan. “Kalau kepercayaan publik turun, legitimasi juga ikut turun. Ini yang harus menjadi perhatian utama dalam reformasi Polri,” tegasnya.

‎Berbagai aspirasi juga datang dari kalangan akademisi Unhas dan perguruan tinggi lain di Makassar. Isu korupsi, keterlibatan aparat dalam aktivitas ekonomi yang tidak pantas, hingga perlunya penguatan kesejahteraan anggota Polri menjadi sorotan utama. Akademisi juga mendorong pendekatan berbasis nilai, etika, dan kearifan lokal sebagai bagian dari reformasi institusional.

‎Dari unsur tokoh agama, disampaikan harapan agar Polri ke depan lebih bersahabat dengan masyarakat dan benar-benar hadir sebagai bagian dari kehidupan sosial dan budaya bangsa, sejalan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Seluruh aspirasi yang dihimpun di Makassar akan dirangkum dan menjadi bahan rekomendasi kebijakan KPRP kepada Presiden. Mahfud memastikan, dukungan politik dari Presiden menjadi kunci utama keberhasilan reformasi kepolisian. “Nanti pada saatnya, semua hasil penjaringan aspirasi ini akan kami sampaikan kepada Presiden,” tuturnya. (*)