MAKASSAR, ERAINSPARASICOM — Isu kualitas kepemimpinan kembali mencuat di tengah wacana revisi Undang-Undang Pemilu. Kali ini, dorongan datang dari kalangan akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (Unhas), yang menekankan perlunya peningkatan standar pendidikan bagi calon pemimpin di semua level pemerintahan.
Dalam forum diskusi publik yang turut dihadiri Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto dan Anggota Komisi II DPR RI Taufan Pawe, sejumlah akademisi FISIP Unhas seperti Endang Sari, Prof Muhammad, dan Prof Sukri Tamma memaparkan sejumlah poin rekomendasi yang dianggap strategis dalam memperkuat kualitas demokrasi.
Salah satu usulan kunci yakni pemberlakuan syarat pendidikan formal yang lebih tinggi bagi calon legislatif dan eksekutif. Disebutkan bahwa calon Presiden dan anggota DPR RI sebaiknya memiliki ijazah pendidikan doktoral (S3), sementara Gubernur dan anggota DPRD Provinsi minimal bergelar magister (S2). Adapun Bupati/Wali Kota serta anggota DPRD Kabupaten/Kota disarankan berpendidikan minimal sarjana (S1), dengan catatan dari perguruan tinggi yang terakreditasi.
”Rekomendasi ini disusun sebagai bentuk kontribusi akademik dalam mendorong demokrasi yang lebih berkualitas dan berbasis kompetensi,” ujar Endang Sari, yang membacakan naskah rekomendasi.
Tak hanya pendidikan, syarat integritas turut menjadi perhatian utama. Dalam naskah tersebut, semua calon diwajibkan bebas dari rekam jejak korupsi. Bahkan, bagi calon dari latar belakang non-sosial-politik, diwajibkan mengikuti pelatihan kelegislatifan yang mencakup materi etika politik, sistem konstitusi, serta fungsi lembaga legislatif.
Ada pula poin alternatif yang memungkinkan calon dengan pengalaman jabatan publik seperti mantan gubernur atau kepala daerah dapat maju, meski latar pendidikan formalnya belum mencukupi.
Rekomendasi itu diserahkan langsung kepada Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto. Menanggapi hal tersebut, Bima menyatakan apresiasinya atas masukan dari kampus. Ia menegaskan, pemerintah terbuka terhadap berbagai aspirasi, selama tidak bertentangan dengan konstitusi.
”Ya, saya mengapresiasi, namanya juga aspirasi, tentu harus kita dengarkan. Tapi yang terpenting semua harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar,” ucapnya.
Namun, Bima mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam menyusun desain sistem pemilu, termasuk soal wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Menurutnya, sistem demokrasi harus dijaga konsistensinya agar tidak berubah-ubah dalam waktu singkat.
”Sistem harus ajek kalau ada perubahan, oke. Tapi jangan sampai empat tahun lagi kita ubah lagi. Demokrasi itu butuh kepastian dan stabilitas,” tutur mantan Wali Kota Bogor itu. (*)
Dorong Revisi UU Pemilu, Akademisi Usul Syarat Pendidikan Calon Pejabat Diperketat
